Kamis, 18 Juni 2015

Kapal dan Perahu Nusantara

Definisi Kapal

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dan sebagainya). Sedangkan dalam bahasa Inggris, Ship (kapal) adalah "a large boat for transporting people or goods by the sea" (perahu besar yang digunakan untuk mengangkut penumpang atau barang melalui laut). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Perahu adalah kendaraan air (biasanya tidak bergeladak) yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar di tengahnya. Sedangkan dalam bahasa Inggris, boat (perahu) adalah "a small vessel for travelling over water propelled by oars, sails or an engine" (kendaraan kecil untuk melewati laut, danau dan sungai yang digerakkan oleh layar, batubara dan mesin).
Dari definisi diatas dapat di simpulkan bahwa kapal adalah kendaraan air yang digunakan untuk mengangkut penumpang atau barang melalui laut, danau, sungai dan sebagainya dan digerakkan oleh layar, batubara dan mesin. Biasaannya kapal dapat membawa perahu tetapi perahu tidak dapat membawa kapal. Ukuran sebuah perahu yang disebut sebagai kapal biasanya ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan setempat.


Sejarah Kapal - Nusantara

Perkembangan perahu di Nusantara terjadi sejak masa prasejarah, karena perahu selain memiliki fungsi sosial ekonomi (alat transportasi air, untuk berkomunikasi antar masyarakat, perdagangan dan sarana mencari ikan),  perahu juga berfungsi sebagi alat pendukung yang berkaitan erat dengan religi masyarakat yand tinggal di pulau-pulau Nusantara. Menurut catatan prasejarah, asal mula transportasi air melalui penyebrangan sungai sudah dilakukan sejak zaman Paleolitik atau zaman batu. Kemudian berkembang pada zaman Neolitik yang sudah menggunakan peralatan batu cetakan halus. Transportasi laut yang mula-mula muncul adalah coracle yang dikenal di Inggris, dengan bentuk seperti mangkuk bulat telur yang terbuat dari kerangka kayu yang dilapisi denan kulit binatang yang kemudian berkembang menjadi kano. Perahu jenis kano mulai berkembang di Nusantara dan berawal pada zaman Neolitik. Perkembangan kano mulai diadaptasikan dan dibuat oleh manusia pada zaman itu dengan peralatan seadanya.
Perahu jenis kano yang telah dikenal oleh manusia pada masa Neolitik tersebut dikenal dengan nama dugout-kano. Perahu semacam ini telah banyak berkembang di kepulauan Nusantara yang digunakan untuk penyeberangan sungai di pulau Jawa. Dalam perkembangannya, perahu kano kemudian diberi cadik yang berfungsi sebagai penahan dari ancaman ombak di laut. Perahu kano bercadik dapat dibedakan menjadi 2 yakni  perahu kano yang memiliki cadik tunggal dan perahu kano yang memiliki cadik ganda yang ditempatkan di dalam kedua sisi perahu. Persebaran jenis perahu bercadik tunggal dapat kita temui di perairan laut Papua Irian, sedangkan untuk jenis perahu kano bercadik ganda telah berkembang di sepanjang pesisir utara Jawa.
Perkembangan teknologi maritim di Nusantara tidak hanya berhenti sampai pada masa Neolitik saja, akan tetapi perkembangan teknologi transportasi laut berkembang pesat pada awal masa Hindu-Budha di Nusantara. Salah satu buktinya bisa ditelusuri di prasasti Kedukan Bukit yang di temukan di Palembang - Sumatera Selatan.
  
Dalam prasasti kedukan bukit diatas tertulis "Selamat bahagia pada tahun saka 605 hari kesebelas dari bulan terang bulan waisaka dapunta, Baginda naik perahu mencari rezeki. Pada hari ketujuh bulan terang Jyesta Dapunta. Baginda berlepas dari muara kampar membawa askar dua laska, dua ratus orang yang berjalan. Seribu tiga ratus dua belas banyaknya datang di Matada dengan suka cita pada hari kelima bulan terang bulan asada dengan lega datang membuat negeri sriwijaya yang berjaya yang bahagia yang makmur".
Dari prasati ini dapat diketahu bahwa perahu sudah berkembang dengan pesat sehingga bisa digunakan untuk membawa pasukan perang sebanyak 20200 orang. Dengan jumlah penumpang sebanyak 20200 pasukan, tentu saja ukuran dari kapal/perahu yang digunakan sudah melebihi dari ukuran perahu lesung yang biasa digunakan dalam pelayaran di waktu itu. Datangnya perahu-perahu Jung dari Cina mempunyai peran besar dalam perkembangan teknologi perahu di nusantara, karena adanya keinginan untuk menggunakan dan mereproduksi teknologi perahu Jung (layar lebar) sehingga bisa memuat lebih banyak barang dan orang.

Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Bukti lain tentang perkembangan perahu tradisional Nusantara pada masa Hindu – Budha adalah relief-relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur. Bentuk-bentuk perahu yang terdapat pada relief-relief candi Borobudur antara lain 
  • Perahu-perahu besar dengan layar lebar yang dapat memuat barang dagangan sampai ratusan ton dan penumpang sekitar dua ratus orang.
  • Perahu-perahu kecil tanpa cadik atau yang disebut juga dengan perahu jukung, perahu lesung, perahu bertiang tunggal dengan cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu dayung tanpa tiang, serta perahu bertiang ganda dengan cadik.
Sepuluh panel relief kapal yang terpahat di dinding Candi Borobudur berupa 6 panel dengan relief kapal besar bercadik dan 4 panel dengan relief kapal kecil yang menggunakan dayung. Ini menunjukkan bahwa, Wangsa Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno merupakan pelaut yang tangguh. Jejak dinasti ini terentang dari Sumatera, Malaysia, hingga Thailand. Ini dapat di buktikan dengan adanya penemuan arkeologis berupa arca arca bergaya Sailendra yang berciri mahkota Bodhisatwa terbentuk dari rambut yang dipilin. Bahkan dalam Prasati Ligor bertahun 775 yang ditemukan di Nakhon Sritammarat pada wihara bernama Vat Sema Muang menyebutkan bahwa pembangunan Trisamaya Caitya (bangunan suci) untuk Padmapani, Wajrapani, dan Sakyamuni oleh raja Sailendra bernama Rakai Panangkaran yang disebut sebagai Wairiwirawimardhana (pembunuh musuh-musuh yang gagah berani)
Berdasarkan relief kapal di Candi Borobudur membuktikan bahwa sejak dulu nenek moyang kita telah menguasai teknologi tinggi dalam pembuatan kapal. Pada awal abad ke-8, keberadaan kapal Borobudur digeser oleh Jung besar Jawa, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Kata ‘Jung’ digunakan pertama kali dalam perjalanan biksu Odrico jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibnu Battuta yang berlayar ke Nusantara, pada abad ke-14. Mereka memuji kehebatan kapal Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dari karya kapal Borobudur, seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.

Dalam Jurnal tersebut disebutkan bahwa Jung Nusantara memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis. Berat Jung rata-rata sekitar 600ton yang melebihi kapal perang Portugis pada waktu itu.

Jung nusantara terbesar yang pernah dibuat adalah Jung dari Kerajaan Demak dengan berat 1000ton, yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Nusantara untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada tahun 1513. Kapal Jung Nusantara ini bisa  juga disebut sebagai Kapal Induk pada waktu itu.


Hilangnya Kapal Jung Jawa Dari Sejarah Indonesia

Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.
Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Lukisan Kapal Jung Jawa

Dalam kata pengantar antologi cerpen berjudul jung Jawa oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing tahun 2009 dengan ISBN 978-979-25-3953-0, disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat.
Dari berbagai ulasan tersebut para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Lebih celaka lagi, raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan.


Teknologi pembangunan perahu nusantara

Upaya rekonstruksi peristiwa masa lalu beserta uraian sejarahnya, dapat diketahui melalu beberapa sumber informasi yang berupa dokumen tertulis ataupun sisa dari benda budaya tersebut. Dari penemuan sisa benda budaya dan tradisi masyarakat dalam membuat perahu/kapal dapat diketahui bahwa teknologi yang digunakan adalah sebagai berikut :
  • Teknologi Ikat
  • Teknologi Pasak
  • Teknologi Gabungan Ikat dan Pasak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar